A. Latar Belakang
Dalam kurun waktu 2 (dua) bulan terakhir, pemberitaan dimana Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan segera menyidangkan perkara dugaan kartel pelanggaran suku bunga pinjaman online kerap menjadi tajuk di dalam berita-berita pada media massa termasuk media mainstream. Hal tersebut tentunya bukanlah tanpa alasan, mengingat KPPU sendiri di dalam situs resminya setidaknya di tahun 2025 ini telah 2 (dua) kali menayangkan siaran pers berkaitan dengan hal tersebut.
Pada tanggal 7 Maret 2025 melalui Siaran Pers nomor 014/KPPU-PR/III/2025, KPPU menyatakan bahwa secara resmi telah meningkatkan status kasus pinjaman online (pinjol) ke tahap Pemberkasan, dimana keputusan ini diambil dalam Rapat Komisi yang berlangsung pada 5 Maret 2025. Menyusuli siaran pers tersebut, pada tanggal 29 April 2025, KPPU kembali menayangkan Siaran Pers dengan nomor 020/KPPU-PR/IV/2025 (Siaran Pers KPPU 020/2025) yang menyatakan bahwa KPPU akan segera menyidangkan dugaan pelanggaran kartel suku bunga di industri pinjol.
Kendatipun sampai dengan artikel ini ditulis, belum ada pemberitaan lebih lanjut mengenai kapan KPPU akan memulai sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan, namun kasus ini cukup menarik untuk dicermati mengingat apabila kasus ini berlanjut ke tahap persidangan, maka dapat dikatakan bahwa kasus ini merupakan salah satu kasus pertama di KPPU dengan jumlah Terlapor terbanyak hingga mencapai setidaknya 97 (sembilan puluh tujuh) penyelenggara layanan pinjol. Hal ini tentunya akan turut berpengaruh pada teknis proses persidangan Majelis Komisi dengan melibatkan jumlah Terlapor yang begitu majemuk.
Selain itu, industri pinjol pun dapat dikatakan sebagai salah satu industri baru yang menandai kemajuan teknologi digital dalam proses pembiayaan kepada pihak debitur, sehingga wajar apabila pada saat mulai maraknya layanan pinjol, kerangka hukum pengaturan terhadap industri ini belum terlalu matang. Hal ini pun tercermin dengan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator yang pada beberapa pemberitaan di media massa turut memberikan sanggahannya terkait dengan dugaan praktek kartel bunga pinjol.
Artikel ini hanyalah ulasan singkat yang akan membahas kasus ini, baik dari point of view peraturan di bidang persaingan usaha dibandingkan dengan sudut pandang perkembangan peraturan terkait Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Tentunya bagaimana perkembangan kasus ini akan bergantung pada bagaimana pihak KPPU di dalam menyidangkan perkara ini yang diawali dengan rumusan Laporan Dugaan Pelanggaran yang akan dibacakan pada sidang pertama Majelis Komisi.
B. Ulasan Dugaan Adanya Pelanggaran dari Sisi KPPU
Siaran Pers KPPU 020/2025 menjelaskan bahwa hasil penyelidikan KPPU mengungkap adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999) oleh 97 (sembilan puluh tujuh) Penyelenggara layanan pinjol sebagai Terlapor. Penyelidikan yang telah dilakukan KPPU menemukan bahwa para Terlapor menetapkan tingkat bunga pinjaman (yang meliputi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya) yang tidak boleh melebihi suku bunga flat 0,8% (nol koma delapan persen) per hari, yang dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman yang kemudian besaran tersebut diubah menjadi 0,4% (nol koma empat persen) per hari pada tahun 2021.
Lebih lanjut, Ketua KPPU pun mengatakan bahwa dugaan pelanggaran tersebut adalah tekait dengan adanya pengaturan bersama mengenai tingkat bunga di kalangan pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi selama tahun 2020 hingga 2023, dimana hal ini dapat membatasi ruang kompetisi dan merugikan konsumen. Dari keterangan KPPU dalam Siaran Pers KPPU 020/2025 tersebut dapat digarisbawahi 3 (tiga) hal utama, yaitu:
(a) pelanggaran dilakukan oleh karena adanya pengaturan bersama tingkat bunga; dan
(b) Pemberi Pinjaman adalah orang, badan hukum, dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang karena perjanjian LPUMBTI;
(c) Penerima Pinjaman adalah orang, badan hukum, dan/atau badan usaha yang mempunyai piutang karena perjanjian LPUMBTI.
Dengan kata lain, dalam hal ini pada dasarnya kegiatan Penyelenggara adalah sebagai perantara diantara Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman.
POJK 77/2016 tidak memberikan pengaturan secara khusus mengenai bunga, namun di dalam Penjelasan Pasal 19 ayat (5) huruf c, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “besaran bunga pinjaman” adalah tingkat suku bunga yang disepakati antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman. Adapun pada Pasal 17 ayat (1) POJK 77/2016 disebutkan bahwa Penyelenggara memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman dengan mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional. Nilai kewajaran ini dapat diukur antara lain melalui tingkat inflasi, atau kepentingan nasional.
Lebih lanjut, POJK 77/2016 juga mengatur mengenai perjanjian pelaksanaan LPUMBTI pada Pasal 18. Berdasarkan pada Pasal 18, perjanjian pelaksanaan LPUMBTI meliputi:
(a) perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman; dan
(b) perjanjian antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman.
POJK 77/2016 juga mengatur hal-hal apa yang minimal perlu untuk dimuat dalam perjanjian di atas. Baik perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman maupun perjanjian antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman perlu untuk memuat suku bunga pinjaman.
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa terkait dengan bunga pinjaman sendiri, maka tugas dari Penyelenggara adalah memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman, mengingat lebih lanjut akan terdapat perjanjian definitif antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman yang akan turut mencantumkan suku bunga pinjaman sebagai salah satu objek yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Di dalam ketentuan Pasal 48 POJK 77/2016, Penyelenggara juga disyaratkan untuk terdaftar sebagai anggota asosiasi yang telah ditunjuk oleh OJK. Sebagaimana diketahui, asosiasi di dalam kegiatan usaha LPUMBTI yang ditunjuk oleh OJK adalah Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). AFPI sendiri didirikan pada tanggal 28 Oktober 2018 dan kemudian baru menerima penunjukan dari OJK sebagai mitra kerja strategis pada tanggal 8 Maret 2019 melalui surat penunjukkan OJK nomor S-5/D.05/IKNB/2019.
Setelah penunjukan dari OJK tersebut, pada tahun 2020 tepatnya tanggal 29 April 2020, AFPI menerbitkan Pedoman Perilaku AFPI tahun 2020. Di dalam pedoman perilaku ini khususnya pada Bab III – Pokok-Pokok Pengaturan, huruf B yang mengatur tentang Pencegahan Pinjaman Berlebih disebutkan bahwa penetapan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya (selain biaya keterlambatan) yang tidak melebihi suku bunga flat 0,8% (nol koma delapan persen) per hari, yang dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh Penerima Pinjaman. Ketentuan dalam pedoman perilaku inilah yang kemungkinan menyebabkan KPPU menduga bahwa Kurun Waktu Pelanggaran dimulai pada tahun 2020.
Besaran dari suku bunga flat ini kemudian diubah kembali pada tahun 2021 menjadi sebesar 0,4% (nol koma empat persen) melalui penerbitan pedoman perilaku AFPI. Pada tanggal 10 November 2023, AFPI kembali menerbitkan pedoman perilaku, dimana pada pedoman perilaku yang diterbitkan terakhir ini tidak diatur mengenai besaran suku bunga. Penerbitan pedoman perilaku ini dilakukan setelah sebelumnya pada tanggal 8 November 2023, OJK menerbitkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan nomor 19/SEOJK.06/2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (SE OJK 19/2023) sebagai amanat dari ketentuan Peraturan OJK nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (POJK 10/2022). Di dalam SE OJK 19/2023 ini diatur mengenai Batas Maksimum Manfaat Ekonomi sebagai besaran dari suku bunga pinjaman. Dari uraian ini, maka dapat dianalisa kemungkinan dari KPPU menduga bahwa Kurun Waktu Pelanggaran berakhir pada tahun 2023, oleh karena pada pedoman perilaku AFPI yang terakhir ini sudah tidak lagi diatur mengenai penetapan jumlah total bunga yang sebelumnya diatur masing-masing pada pedoman perilaku AFPI tahun 2020 dan 2021.
Ditinjau dari jumlah pihak yang menjadi Terlapor yaitu sebanyak 97 (sembilan puluh tujuh) Terlapor, hal ini juga identik dengan jumlah anggota dari AFPI sebagaimana tercantum di dalam situs AFPI. Dengan demikian, dugaan KPPU itu dialamatkan kepada masing-masing anggota aktif AFPI yang mungkin menurut KPPU terlibat di dalam penetapan suku bunga pinjaman baik yang ditetapkan melalui pedoman perilaku AFPI tahun 2020 dan 2021.
C. Unsur Dalam Penetapan Harga Dalam Pasal 5 UU 5/1999 dan Potensi Sanksi
Dari Siaran Pers KPPU 020/2025, diketahui bahwa KPPU utamanya menduga bahwa para Terlapor telah melanggar ketentuan Pasal 5 UU 5/1999 yang pada pokoknya mengatur tentang larangan penetapan harga, dimana ketentuan Pasal 5/1999 ini termasuk dalam bab yang mengatur tentang Perjanjian Yang Dilarang. Secara lengkap Pasal 5 UU 5/1999 menyatakan sebagai berikut:
(1) Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama;
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi:
(a) suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
(b) suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.
Untuk membuktikan dugaannya tersebut, pihak Investigator tentunya perlu untuk membuktikan terpenuhinya unsur-unsur yang diatur di dalam UU 5/1999 tersebut.
Adapun apa saja unsur yang terkandung di dalam Pasal 5 UU 5/1999 diuraikan pada Peraturan KPPU nomor 4 tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 UU 5/1999 (Perkom 4/2011). Berikut adalah unsur dalam Pasal 5 UU 5/1999 berikut dengan penjabarannya:
Unsur Pelaku Usaha | : | Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi (Vide Pasal 1 Angka 5 UU 5/1999).
|
Unsur Perjanjian | : | Suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis (Vide Pasal 1 Angka 7 UU 5/1999).
|
Unsur Pelaku Usaha Pesaing
|
: | Pelaku usaha lain dalam pasar bersangkutan yang sama.
|
Unsur Harga Pasar | : | Harga adalah biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi barang dan jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan.
|
Unsur Barang | : | Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha (Vide Pasal 1 Angka 16 UU 5/1999).
|
Unsur Jasa | : | Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha (Vide Pasal 1 Angka 17 UU 5/1999).
|
Unsur Konsumen | : | Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain (Vide Pasal 1 Angka 15 UU 5/1999).
|
Unsur Pasar Bersangkutan | : | Pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau subtitusi dari barang dan atau jasa tersebut (Vide Pasal 1 Angka 10 UU 5/1999).
|
Unsur Usaha Patungan | : | Sebuah perusahaan yang dibentuk melalui perjanjian oleh 2 (dua) pihak atau lebih untuk menjalankan aktivitas ekonomi bersama, dimana para pihak bersepakat untuk membagi keuntungan dan menanggung kerugian yang dibagi secara proporsional berdasarkan perjanjian tersebut. |
Menurut Perkom 4/2011, perilaku penetapan harga (price fixing) antara perusahaan yang sedang bersaing di pasar merupakan salah satu dari bentuk kolusi. Kolusi sendiri merujuk pada situasi dimana perusahaan-perusahaan yang ada di pasar melakukan koordinasi atas tindakan-tindakan mereka yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Lebih lanjut koordinasi di dalam kolusi tersebut digunakan untuk menyepakati beberapa hal, diantaranya:
(a) kesepakatan penetapan harga tertentu yang lebih tinggi dari harga yang diperoleh melalui mekanisme persaingan;
(b) kesepakatan penetapan kuatitas tertentu yang lebih rendah dari kuantitas dalam situasi persaingan;
(c) kesepakatan pembagian pasar.
Perilaku kesepakatan penetapan harga akan menghilangkan persaingan yang seharusnya terjadi diantara para pelaku usaha yang ada di pasar, mengingat dalam kondisi persaingan, harga akan terdorong turun mendekati biaya produksi dan jumlah produksi di pasar juga akan meningkat. Dalam kondisi harga yang terdorong turun, maka pasar akan menjadi lebih efisien sehingga kesejahteraan meningkat serta konsumen akan diuntungkan.
Dari uraian di atas, pada intinya dapat disimpulkan beberapa poin utama, antara lain:
(a) bahwa penetapan harga yang dilarang adalah penetapan harga yang berasal dari suatu perjanjian;
(b) mengingat bahwa perilaku penetapan harga merupakan suatu bentuk kolusi diantara para pelaku usaha, dimana apabila kolusi tersebut tidak terjadi maka para pelaku usaha tersebut pada dasarnya adalah kompetitor antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, pelanggaran Pasal 5 UU 5/1999 hanya akan terjadi jika terdapat perjanjian penetapan harga antara pelaku-pelaku usaha yang berada dalam pasar bersangkutan yang sama; dan
(c) perilaku penetapan harga oleh para pelaku usaha tersebut dilakukan secara bersama-sama (concerted).
Lebih lanjut, Perkom 4/2011 juga menjelaskan bahwa penetapan harga yang dimaksud oleh Pasal 5 UU 5/1999 tidak hanya penetapan harga akhir, melainkan juga perjanjian atas struktur atau skema harga, karena di dalam pasal tersebut penetapan harga tidak berarti bahwa penetapan harga yang sama, sebagai contoh adalah kesepakatan atas margin. Dengan adanya kesepakatan margin, maka kendatipun harga yang ada di pasar dapat berbeda namun margin yang diperoleh akan sama diantara para pelaku usaha.
Dalam hal unsur-unsur pada Pasal 5 UU 5/1999 terpenuhi dan pelaku usaha dinyatakan bersalah, maka terdapat potensi sanksi yang dapat dikenakan. Menurut UU 5/1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (PP 44/2021), potensi sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku usaha, meliputi:
(a) Penetapan Pembatalan Perjanjian
Sanksi ini dapat dijatuhkan pada sebagian Perjanjian atau keseluruhan Perjanjian, dimana sanksi ini diterapkan apabila sebagian atau seluruh Perjanjian diputuskan oleh Majelis Komisi melanggar ketentuan UU 5/1999.
(b) Penetapan Pembayaran Ganti Rugi
(c) Pengenaan Denda
Terkait dengan sanksi pengenaan denda ini perlu diperhatikan hal-hal, berikut ini:
(i) bahwa pengenaan denda paling sedikit adalah sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah);
(ii) bahwa pengenaan denda dilakukan berdasarkan ketentuan, sebagai berikut:
(A) paling banyak 50% (lima puluh persen) dari keuntungan bersih yang diperoleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran; atau
(B) paling banyak sebesar 10% (sepuluh persen) dari total penjualan pada pasar bersangkutan, selama kurun waktu terjadinya pelanggaran.
(iii) penentuan besaran denda didasarkan atas:
(A) dampak negatif yang ditimbulkan;
(B) durasi waktu terjadinya pelanggaran;
(C) faktor yang meringankan;
(D) faktor yang memberatkan; dan/atau
(E) kemampuan Pelaku Usaha untuk membayar.
D. Analisa Terbatas Terhadap Dugaan Pelanggaran Oleh Penyelenggara LPUMBTI
Dari ulasan sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya di atas, tentunya terdapat hal-hal yang perlu dicermati khususnya berkaitan dengan pemenuhan terhadap unsur-unsur Pasal 5 UU 5/1999 yang menjadi dugaan KPPU, berikut pandangan-pandangan lain khususnya terhadap ketentuan yang secara spesifik mengatur LPUMBTI selama Kurun Waktu Pelanggaran.
Mengingat dugaan pelanggaran adalah berkaitan dengan perilaku penetapan harga yang timbul dari perjanjian, maka salah satu hal utama yang perlu untuk terpenuhi adalah adanya perjanjian diantara para pelaku usaha. Dipahami dari Siaran Pers KPPU 020/2025, KPPU memandang bahwa perjanjian tersebut dilakukan melalui kesepakatan yang direalisasikan dalam penetapan pedoman perilaku asosiasi yang dalam hal ini adalah AFPI, mengingat asosiasi terdiri dari para pelaku usaha yang berstatus sebagai anggota.
Dengan demikian, terkait dengan unsur perjanjian ini perlu untuk dibuktikan bahwa para Terlapor memiliki peranan di dalam menetapkan pedoman perilaku AFPI yang di dalamnya turut mengatur mengenai besaran total bunga. Proses pembuktian adanya perjanjian ini tentunya tidaklah sederhana, kendatipun dalam Perkom 4/2011 mengenal proses pembuktian melalui bukti tidak langsung (circumstantial evidence) yang terdiri dari bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Adanya harga yang seragam (parallel price) belum cukup membuktikan adanya penetapan harga, karena kesamaan harga yang terjadi bisa saja oleh karena kesepakatan maupun karena perilaku kompetitif, sehingga diperlukan adanya analisis tambahan diantaranya analisis terkait dengan rasionalitas penetapann harga dan analisis struktur pasar.
Di samping itu, masih terkait dengan pemenuhan unsur perjanjian, perlu untuk diperhatikan juga bahwa di dalam POJK 77/2016 yang mengatur LPUMBTI selama Kurun Waktu Pelanggaran, secara tidak langsung mensyaratkan bahwa pengaturan mengenai suku bunga pinjaman turut menjadi objek yang disepakati Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman dalam perjanjian antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman yang dituangkan dalam Dokumen Elektronik. Hal ini tentunya menjadi tidak berbanding lurus dengan maksud dari unsur perjanijan dalam Pasal 5 UU 5/1999, yaitu pengikatan diri antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya. Terlebih lagi apabila kembali dikaitkan dengan POJK 77/2016, disebutkan bahwa tugas dari Penyelenggara diantaranya adalah memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman.
Unsur lain yang perlu dicermati adalah berkaitan dengan unsur harga. Perkom 4/2011 menjabarkan harga sebagai biaya yang harus dibayar dalam suatu transaksi barang dan jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan. Dengan terminologi harga berdasarkan Perkom 4/2011, maka perlu untuk ditelaah lebih lanjut apakah suku bunga pinjaman dalam LPUMBTI adalah sama dengan harga yang dimaksudkan dalam UU 5/1999. Kembali merujuk pada ketentuan POJK 77/2016 bahwa pada dasarnya bunga merupakan kesepakatan antara Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman, sedangkan Penyelenggara yang bertindak sebagai “perantara” hanya bertugas untuk memberikan masukan atas suku bunga dengan mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional. Dalam hal ini, apabila memang besaran bunga sepenuhnya akan dibayarkan dari Penerima Pinjaman kepada Pemberi Pinjaman, hal ini justru akan semakin mendukung asumsi bahwa suku bunga bukanlah harga sebagaimana dimaksudkan dalam UU 5/1999 karena bunga tidak dinikmati sebagai keuntungan dari Penyelenggara.
Lebih lanjut, unsur penting lainnya di dalam Pasal 5 UU 5/1999 adalah pasar bersangkutan. Di dalam kerangka alir pembuktian dugaan pelanggaran Pasal 5 UU 5/1999 yang dimuat dalam Perkom 4/2011, pihak KPPU akan terlebih dahulu mendefinisikan mengenai pasar bersangkutan, dimana hal ini pun pada umumnya tercermin pada Laporan Dugaan Pelanggaran yang akan secara spesifik menguraikan mengenai pasar bersangkutan yang dipermasalahkan. Apabila dapat dibuktikan bahwa para Terlapor tidak berada dalam pasar bersangkutan yang sama, maka hal ini pun tentunya sangat mempengaruhi beban pembuktikan terhadap unsur-unsur lainnya dan sangat mungkin menyebabkan dugaan pelanggaran Pasal 5 UU 5/1999 menjadi tidak terbukti.
Selain dari pengamatan atas pemenuhan unsur-unsur dalam dugaan pelanggaran Pasal 5 UU 5/1999, hal lain yang perlu untuk menjadi perhatian adalah terkait dengan tujuan dari perilaku penetapan harga menurut Perkom 4/2011, yaitu untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi lagi. Sehubungan dengan hal ini, pada dasarnya dapat dikatakan bahwa pengaturan besaran suku bunga di dalam pedoman perilaku AFPI adalah sebagai suatu bentuk pelaksanaan amanat dari POJK 77/2016 yang di dalam Pasal 17 ayat (1) mengatur bahwa Penyelenggara memberikan masukan atas suku bunga yang ditawarkan oleh Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman dengan mempertimbangkan kewajaran dan perkembangan perekonomian nasional. Selain itu, sebagaimana tercermin di dalam pedoman perilaku AFPI, penetapan besaran bunga sejatinya adalah untuk mendukung pencegahan pinjaman berlebih (predatory lending), yaitu praktik pemberian pinjaman yang mengenakan syarat, ketentuan, bunga, dan/atau biaya-biaya yang tidak wajar bagi Penerima Pinjaman, atau yang tidak memperhatikan kemampuan membayar kembali Penerima Pinjaman. Dengan demikian, pengaturan tersebut bukanlah untuk memperoleh keuntungan yang lebih tinggi sebagaimana disebutkan oleh Perkom 4/2011 namun dapat dikatakan bahwa pengaturan tersebut adalah untuk membatasi para anggota asosiasi yang merupakan pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan yang berlebih.